SALYA GUGUR I – Ki Sugino Siswocarito

Sekilas mengenai Emban Sugandini yang diceritakan dalam lakon Salya Gugur berikut. Ternyata Sugandini bukan sekedar emban atau bahkan berujud limbuk. Inilah petikannya dari pakem Ki Nartosabdo dan banyak pakem cerita wayang yang lain. Cerita ini  saya kutip dari tulisan saya di wayangprabu.com: http://wayangprabu.com/2012/01/30/mendung-diatas-mandaraka-7/

Mendung telah tersaput angin. Cerah wajah Prabu Salya ketika menemukan kembali putri sulungnya dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Tak lama kemudian setelah kedatangan Jaladara kembali ke Mandaraka, dipanggilnya Wasi Jaladara kehadapan Prabu Salya, “Kamu sudah membuktikan ucapanmu bisa mengembalikan anakku Erawati. Dan aku juga akan membuktikan janjiku, tidak akan ingkar. Tetapi hendaknya kamu bersabar, tunggulah hari baik. Tapi lain dari itu, aku melihat ada raksasa wanita. Siapakah ia Jaladara?”.

“Karena orangnya sudah ada didepan Paduka, silakan gusti Prabu menanyakan sendiri jati dirinya”. Jawab Jaladara takzim.

Heh wanita raksasa, siapakah dirimu sebenarnya?” Prabu Salya memandangi Raseksi itu sambil bertanya.

“Hamba adalah ibu dari Kartapiyoga yang telah terbunuh oleh Jaladara.”

“Aku ingin tahu bagaimana kamu beserta keluarga dan para pengikutmu berdiam disuatu negara didalam air yang bernama Tirtakadasar?”

“Terus terang hamba sebagai istri dari Prabu Kurandayaksa sebenarnya karena dahulu hamba diculik. Ketika itu hamba sedang mencuci ditepi Bengawan Swilugangga. Tidak mengerti datangnya bahaya, hamba diseret kedalam bengawan. Dari situlah hamba diperistri oleh Prabu Kurandayaksa. Demikian  yang terjadi, hingga hamba mempunyai anak bernama Kartapiyoga itu”.

“Lho, andika itu  dari mana asal usulnya?” Ketertarikan akan jalan cerita raseksi itu, Prabu Salya kemudian menanyakan lebih dalam.

“Hamba adalah putri pendeta bernama Begawan Bagaskara, hamba terpisah dengan ayah hamba Begawan Bagaskara sejak peristiwa itu terjadi. Ayah hamba dua bersaudara, yang muda bernama Begawan Bagaspati, dua duanya adalah pendita yang berujud raksasa. Juga berputri satu yang namanya adalah Pujawati. Sedangkan hamba bernama Tapayati”.

Terkesiap hati Dewi Setyawati, istri Prabu Salya, yang ikut dalam lingkungan pembicaraan. Karena ialah putri dari Pendita di Argabelah, kakak beradik Begawan Bagaspati dan Begawan Bagaskara. Setyawati alias Pujawati bergerak mendekat ketika mendengar kisah dari Tapayati yang kemudian memeluknya erat, “Kanda, hambalah yang bernama Pujawati itu. Aku sekarang sudah beranak lima, kanda!”.

Hening para hadirin yang ikut dalam sidang ketika melihat  keduanya saling berpelukan. Seakan mereka ikut merasakan betapa takdir telah mempertemukan kedua saudara misan itu dalam pertemuan yang tak diduga-duga.

Ketika suasana haru tela mereda, Tapayati berkata memohon maaf kepada suami istri itu, “Mohon maaf Sang Prabu, bahwa anak hamba Kartapiyoga  telah demikian beraninya menculik saudaranya sendiri, Erawati.”

Prabu Salya tidak memperdulikan pertanyaan Tapayati, malah ia bertanya hal yang lain “Tapi aku masih heran, bagaimana Prabu Kurandayaksa bisa membuat Istana dalam air dan bermukim disitu?”.

“Itu adalah kekuatan dari pusaka yang bernama manik sotyaning candrama yang bisa digelar dan digulung. Bisa diringkas menjadi satu ujud seperti yang hamba bawa ini”.

“Oooh itukah bentuk pusaka itu?” Takjub Prabu Salya melihat kesaktian pusaka yang dibawa Tapayati

Kecuali dapat digelar dan digulung sebagai gelaran sebuah negara, pusaka ini juga dapat dibuat menjadi sarana untuk mengubah segala bentuk yang buruk menjadi ujud yang baik” tambah Tapayati.

“Apakah kira kira dapat dipakai untuk meruwat ujud ayunda yang serupa raseksi? Rasa takjub Prabu Salya telah menggiringnya ke pertanyaan berikutnya

Itulah yang sebenarnya hamba inginkan . . . . ”. Tapayati menjawab dengan wajah yang berharap.

Baiklah ayunda. Tahanlah nafas ayunda, aku akan merubah ujud ayunda sebagaimana yang ayunda inginkan”. Begitulah kesaktian pusaka manik sotyaning candrama telah dijadikan sarana untuk mewujudkan keinginan Tapayati. Kehendak Dewa telah terjadi, Tapayati berganti ujudnya yang buruk menjadi sosok cantik mirip dengan dewi Setyawati.

Kembali Setyawati dan Tapayati berrangkulan haru. Kebahagiaan telah merebak diantara saudara trah Bagaspati dan Bagaswara. “Bagaimana hamba dapat mengucapkan terimakasih sinuhun? Tersedu Tapayati mengalami hal yang sangat membesarkan hatinya, peristiwa yang sangat sering ia bayangkan pada masa hidupnya yang telah lalu.

“Tidak usahlah berterimakasih kepadaku.”

“Bagaimanapun, hamba harus mempunyai rasa terimakasih. Hamba berjanji, dinda Pujawati semogalah seluruh isi jagad menyaksikan, sampai ajal menjemput, kita berdua tak akan dapat terpisahkan.” Sumpah Tapayati akan terjadi. Hidup mereka berdua berakhir di padang Kurusetra ketika Prabu Salya gugur di medan perang Baratayuda.

Setelah hening sejenak, Prabu Salya berkata, “Tapi begini ayunda, karena ayunda sudah berujud manusia yang sempurna , akan aku ubah nama ayunda dengan nama baru; Endang Sugandini”.

————————————————————————————————

Lalu bagaimanakah persepsi Ki Sugino tentang  Emban Sugandini? Silakan klik lakon  Salya Gugur pada seri 1 – 4. Lanjutannya mohon kesabarannya.

Salya Gugur 1

Salya Gugur 2

Salya Gugur 3

Salya Gugur 4

 

Sing teng MEDIAFIRE teng ngriki.

SALYA GUGUR1

SALYAGUGUR2

SALYAGUGUR3

SALYAGUGUR4

3 comments on “SALYA GUGUR I – Ki Sugino Siswocarito

  1. maturnuwun ndarane, koleksi bratayuda saking rama gino sekedik malih kumplit, kantun njangkepi seri sanesipun…

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.